Home Blog Page 4

G‐20 dan Momentum Revitalisasi Perekonomian Regional

0

Nuzul Achjar, PhD
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) dan Pengajar di Fakultas Ekonomi UI

Perhatian dunia selama 23-24 September 2009 tertuju pada Kota Pittsburgh, kawasan di barat daya negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat, tempat diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara kelompok G-20. Indonesia termasuk salah satu negara anggota G-20 yang hadir dalam KTT tersebut yang langsung dipimpin oleh Presiden SBY.

Pertemuan di Pittsburgh ditujukan untuk membicarakan masalah energi, lingkungan, pemanasan global, dan upaya untuk mengatasi dampak sistemik krisis yang ditimbulkan kredit perumahan (subprime mortgage) di  AS yang dampaknya sangat terasa secara global.

Latar belakang keputusan tuan rumah presiden AS Barrack Obama yang menetapkan Pittsburgh sebagai tempat pertemuan berskala besar semacam G-20 menarik untuk disimak. Mengapa bukan kota besar yang sudah sangat dikenal di AS seperti Washington DC, New York, Los Angeles atau Chicago sebagai ajang pertemuan ini?

Rupanya alasan Obama cukup sederhana namun jitu, antara lain bahwa pertemuan di Pittsburgh diharapkan dapat membangkitkan kembali (revitaliasi) perekonomian kota ini. Kota ini mendapat publikasi secara luas dari kegiatan skala besar. Pihak kota sendiri diperkirakan mengeluarkan anggaran sekitar 25 juta dolar AS. Kegiatan ini akan memberikan dampak pengganda (multiplier) yang besar bagi kegiatan ekonomi Kota Pittsburgh dan sekitarnya.

Selama tiga dasa warsa terakhir, Pittsburgh mengalami kemunduran ekonomi karena peranan industri baja, yang pernah menjadi primadona kota ini sudah semakin pudar (sunset industry).

Walau demikian, perusahaan baja  di  kota ini masih menempati ranking ke-10 produksi baja terbesar dunia. Bukan suatu kebetulan jika masalah baja diperkirakan akan menjadi salah satu agenda pembicaraan bilateral antara AS dan Cina pada pertemuan G-20.

Dapat dibayangkan, hotel di Pittsburgh akan penuh terisi oleh tamu-tamu, tidak hanya oleh para rombongan peserta resmi, tetapi juga juru warta, petugas keamanan dan lainnya dari delapan penjuru angin, termasuk masyarakat dari negara bagian lainnya yang mempunyai kepentingan langsung atau tidak terhadap pertemuan ini.

Perusahaan rental  kendaraan akan dibanjiri oleh penyewa. Para tetamu akan menyantap makanan di restoran, membeli souvenir, mengunjungi atraksi budaya dan kesenian, museum dan lainnya.

Pajak yang diterima dari kegiatan ekonomi, sosial dan budaya sebagian akan menjadi  pendapatan Kota Pittsburgh dan negara bagian Pensylvania.

Jika suasana kesibukan Pittburgh selama pertemuan G-20 ini kita bawa menjadi sebuah imajinasi untuk Kepulauan Riau, khususnya Batam, Bintan dan Karimun (BBK) , maka hal tersebut hendaknya dilihat dari semangat yang terkandung di baliknya.

Jika Pittsburgh adalah kisah tentang revitalisasi kegiatan ekonomi, maka untuk BBK, semangat Pittsburgh adalah upaya untuk memberi gairah (vitalisasi) untuk menggali potensi ekonomi regional BBK, tidak hanya melalui kegiatan industri manufaktur tetapi juga jasa, termasuk jasa logistik dan pariwisata bahari.

Di negara maju, proses transformasi ekonomi telah lama bergerak dari industri manufaktur menuju ekonomi jasa (service economy).Demikian juga halnya dengan Pittsburgh. Kota ini tidak hanya dikenal dengan sebutan sebagai kota baja (steel city) tetapi juga sudah bergerak menuju kota jasa. Di kota inilah terletak kegiatan jasa berskala global seperti K&L Gates, Reed Smith, and Burt Hill, dan jasa keuangan terkemuka seperti PNC dan Federated Investors.

Tidak boleh dilupakan bahwa Pittsburgh adalah lokasi di mana pendidikan tinggi terkemuka berada seperi Universitas Carnegie Mellon (CMU), Universitas Pittsburgh, dan University of Pittsburgh Medical Center (UPMC).

Lima strategi yang dilakukan oleh Kota Pittsburgh sehingga cukup berhasil melakukan revitalisasi ekonomi mereka yaitu, pertama, inovasi dan kewirausahaan; kedua, iklim investasi yang kompetitif; ketiga, kualitas pendidikan; keempat, peningkatan kualitas hidup; dan kelima, promosi dan pemasaran.

Untuk memberi vitalisasi perekonomian regional Kepulauan Riau, pembangunan infrastruktur tampaknya perlu langkah cepat melalui kegiatan (even) berskala nasional. Namun tentunya tidak mengorbankan anggaran untuk peningkatan kualitas pendidikan yang harus mendapat prioritas paling tinggi.

Melalui Pekan Olah Raga Nasional (PON), Kota Palembang memperoleh manfaat dari meningkatnya kapasitas infrastruktur, demikian juga halnya dengan Kota Pekanbaru yang saat ini sedang mempersiapkan PON. Tidak sedikit pula efek pengganda yang ditimbulkannya bagi perekonomian daerah.

Bagi Kepulauan Riau, proses transformasi menuju sektor jasa mungkin tak harus secepat di negara maju mengingat sektor industri baru saja berkembang dan masih memerlukan pendalaman (deepening). Karena Pittsburgh mempunyai universitas terkemuka dunia seperti Carnegie Mellon, ataupun pusat riset medis yang terkenal, maka di sinilah kita mempunyai motivasi lain bahwa Kepulauan Riau kelak dapat mempunyai pusat riset di bidang maritim yang tidak boleh dipandang sebelah mata.

Dalam sebuah diskusi dengan penulis, seorang pengamat mengatakan bahwa salah satu peluang BBK adalah tempat labuh jangkar kapal-kapal kontainer yang antre menuju pelabuhan Singapura. Walaupun pelabuhan Singapura memiliki teknologi canggih dan cepat dalam bongkar muat kontainer, namun karena Singapura sangat ketat dalam kebijakan laut bersih (clean ocean), beberapa tahun belakangan ini banyak kapal-kapal tersebut berlabuh di pesisir Barelang.

Hal ini merupakan peluang untuk menangkap biaya labuh jangkar sebelum sandar di dermaga Singapura.
Pembicaraan pada KTT G-20 di Pittsburgh tentang lingkungan hidup mejadi relevan pula bagi Kepualuan Riau, bukan lagi sebuah imajinasi, tapi nyata adanya.

Provinsi ini harus benar-benar memperhatikan persoalan lingkungan hidup, belajar dari kesalahan daerah lain sebelum menjadi sesal yang tak berguna.

Khususnya Kota Tanjungpinang bahkan Kabupaten Bintan, izin pertambangan bauksit perlu dipertimbangkan kembali karena sudah terlihat tanda-tanda bahwa kerusakan lingkungan, lebih besar mudaratnya dari pada manfaat. Tanjungpinang perlu mencari alternatif pengembangan ekonomi yang tidak tergantung pada pengelolaan tambang bauksit. Dampak yang akan ditimbulkannya justru akan merugikan kota ini dalam jangka menengah dan panjang.

Tanjungpinang harus tetap konsisten untuk pengembangan industri berbasis maritim, termasuk pariwisata bahari, dan sektor jasa lainnya.

Dengan luas areal yang relatif tidak besar, daya dukung Bintan, khususnya Tanjungpinang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan. Kasus Sungai Pulai sebagai daerah tangkapan air yang semakin terkulai seharusnya memberikan kita pelajaran penting untuk tidak menggeser peruntukan lahan, apatah lagi mengekspoitasi sumber daya alam secara tidak proporsional.

Kenangan pada senja yang temaram, dari sebuah bukit di tepi Kota Pittsburgh, memandang jembatan yang melintasi pertemuan Sungai Allegheny dan Monongahela, sungguh membangkitkan imajinasi dan inspirasi tentang Kepulauan Riau. Kelak di senja yang temaram, dari Bukit Pulau Dompak dan Bukit Senggarang, kita akan memandang pula keindahan jembatan penghubung Kota Tanjungpinang dengan Pulau Dompak, serta Jembatan Batam-Bintan.

Namun imajinasi dan inspirasi itu akan pudar jika bukit-bukit Tanjungpinang terkelupas karena eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan jangka pendek.***

Tarif Listrik Regional dan PSO

0

Nuzul Achjar, PhD
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH)

Pada tanggal 8 September 2009, DPR akhirnya meloloskan RUU Ketenagalistrikan menjadi UU baru menggantikan UU No 15/1985. Dalam UU Ketenagalistrikan yang baru ini dinyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah daerah. Pemerintah Provinsi, dan Kabupaten/Kota mempunyai peran dan tanggung jawab besar untuk pengembangan sistem ketenagalistrikan, termasuk penentuan tarif listrik regional.
Di satu sisi, bagi sebagian anggota masyarakat, tarif listrik regional adalah kata lain dari kenaikan tarif yang akan memberatkan masyarakat ataupun konsumen. Di sisi lain, bagi Pemerintah, tarif listrik regional merupakan solusi penting untuk memberi insentif masuknya investasi kelistrikan sehingga diharapkan dapat menambah kapasitas pembangkit listrik untuk mengatasi persoalan defisit listrik di berbagai daerah di Indonesia, khususnya luar Jawa.

Tarif Dasar Listrik (TDL) yang seragam di berbagai daerah hingga saat ini tidak mampu lagi mengimbangi biaya produksi listrik atau Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. Pemerintah menugaskan PLN untuk menjalankan Kewajiban Pelayanan Publik atau Public Service Obligation (PSO) yaitu subsidi listrik yang diambil dari APBN. Dalam RAPBN-P tahun 2008 lalu, dengan asumsi harga minyak mentah US$98 per barrel, subsidi listrik mencapai Rp 60,28 triliun.

Konsep PSO sesungguhnya tidak hanya ditujukan pada sektor kelistrikan tetapi juga terhadap jasa lain seperti transportasi laut, udara, kereta api dan jasa pos. Pada dasarnya, PSO ditujukan untuk memberkan pelayanan kepada daerah yang tidak terjangkau oleh pelayanan publik, khususnya di daerah terpencil. Di negara maju sekalipun, PSO diberlakukan untuk angkutan ferry antar pulau yang secara ekonomis tidak menguntungkan.

Pelayaran angkutan laut oleh PELNI adalah bagian dari skema PSO. Operator atau perusahaan yang melaksanakan PSO tidak harus BUMN tetapi dimungkinkan juga oleh swasta. Dalam kenyataannya memang pelaksanaan PSO dilakukan oleh BUMN karena diberi tugas oleh Pemerintah yang tidak dapat ditolak. Pihak swasta enggan masuk pada pelayanan PSO karena besarnya subsidi dianggap tidak memadai untuk memperoleh margin keuntungan yang layak.

Perbedaan antara PSO dan Universal Service Obligation (USO) terletak pada tarif pelayanan.  Tarif pada skema USO bersifat universal yang berarti bahwa berapapun biaya investasi untuk infrastruktur dikeluarkan, tarif pelayanan berlaku sama untuk seluruh wilayah Indonesia, misalnya saja tarif telekomunikasi pedesaan.

Tarif untuk skema PSO tergantung pada struktur biaya pelayanan. Makin besar biaya produksi, makin besar pula tarif (setelah disubsidi) antar daerah. Tarif listrik di pedesaan terpencil daerah kepulauan boleh jadi akan berbeda dengan desa terpencil bukan kepulauan.

Secara filosofis, subsidi listrik pada skema PSO selain untuk daerah terpencil juga diprioritaskan kepada masyarakat berpendapatan paling rendah dan kurang beruntung, dalam hal ini adalah golongan rumah tangga R1 (< 450 VA). Kenyataannya, subsidi dengan skema PSO diberikan juga kepada semua kelompok konsumen walaupun dengan jumlah berbeda.

Terlepas dari ideologi ekonomi dan politik yang kita anut, haruslah diakui bahwa persoalan tarif dan subsidi sangat kental dengan pertimbangan politik, tidak semata-mata pada aspek keekonomian belaka. Di luar pertimbangan konstitusi, dalam konsep sejahteraan (welfare), daerah perkotaan, bahkan pedesaan yang sudah tercakup  dalam jaringan interkoneksi ataupun transmisi listrik seharusnya tidak masuk dalam skema PSO.

Dengan berlakunya UU Ketenagalistrikan baru maka setelah kota Batam yang lebih dahulu menetapkan tarif listrik regional sejak 2001, kawasan lain di Kepulauan Riau khususnya Bintan dan Karimun, cepat atau lambat akan menerapkan tarif ini.

Penentuan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik terdiri dari beberapa komponen utama yaitu: biaya bahan bakar, biaya pembangkit dan distribusi, inflasi, nilai tukar, depresiasi, biaya pegawai dan admininistrasi, dan biaya terkait lainnya. Menurut data tahun 2007, harga jual listrik di Kepulauan Riau rata-rata Rp 654,46 per kWh, di luar PLN Batam dengan harga jual rata-rata Rp 879,18 per kWh.

Tarif listrik regional juga berlaku di Jepang. Di negara ini terdapat 10 perusahaan listrik regional dengan struktur pasar yang bersifat monopoli alamiah (natural monopoly), demikian juga halnya dengan Amerikan Serikat. Monopoli alamiah dimaksudkan agar produksi listrik mencapai skala ekonomis dan memperoleh eksternalitas jaringan (network externalities) sehingga biaya produksi dapat diminimalkan.

Di Jepang, hal yang paling ditekankan adalah bahwa margin keuntungan perusahaan listrik regional dibatasi sedemikian rupa agar tercipta keadilan.

Dalam kaitannya dengan pencapaian skala ekonomis dan eksternalitas jaringan, rasanya kita sependapat dengan pandangan Ir Wirya Putra S Silalahi, anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau dalam tulisannya: “Solusi Masalah Kelistrikan di Bintan dan Batam” (Batam Pos, Senin, 24 Agustus 2009) bahwa Batam dan Bintan sebaiknya terhubung oleh jaringan interkoneksi dengan satu entitas perusahaan kelistrikan regional. Tanpa itu, dalam jangka panjang tidak ada jaminan BPP listrik per kWh Bintan akan lebih rendah dibandingkan Batam.

Di luar PLN Batam, pada 2007, subsidi listrik di Provinsi Riau (termasuk Kepuluan Riau) rata-rata mencapai Rp 590,39 per kWh yang berarti lebih tinggi dari rata-rata nasional yaitu Rp. 310,97 per kWh. Biaya variabel pembangkit listrik termal dengan bahan bakar Marine Fuel Oil (MFO) adalah Rp 1115 per kWh atau 12,2 cent dollar per kWh. Jika pembangkit listrik regional di Bintan masih menggunakan BBM seperti sekarang ini, maka BPP listrik akan tetap lebih tinggi dibandingkan Batam yang menggunakan PLTGU, dan nantinya didukung oleh PLTU.

Dapat diduga bahwa sebelum UU Ketenagalistrikan yang baru dapat dilaksanakan secara efektif,  masih akan ada proses lain seperti “judicial review” oleh organisasi kemasyarakatan kepada Majelis Konstitusi. Isu yang akan dilontarkan tidak akan terlalu jauh pada masalah ideologi ekonomi yaitu bertentangan dengan konstitusi sebagaimana amanat Pasal 33  UUD 1945.

Atas pertimbangan konstitusi ini pulalah maka pada 15 Desember 2004, Majelis Konstitusi mencabut UU No 20/2002 Tentang Ketenagalistrikan karena dianggap telah menghapus kewenangan negara, dalam hal ini kewenangan PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan (PKUK). Akhirnya, UU No 15/1985 diberlakukan kembali, dan kemudian pada 8 September 2009, muncul UU Ketenagalistrikan yang baru.

Bagaimanakah posisi masyarakat Kepulauan Riau menghadapi kondisi ini? Karena penentuan tarif listrik regional adalah proses politik tingkat nasional yang berimplikasi terhadap proses politik tingkat regional, langkah penting yang perlu dilakukan adalah dialog yang terus menerus di antara para pemangku kepentingan (stakeholders).

Dialog dengan hati terbuka, jujur, sejuk dan tanpa prasangka perlu dilakukan antara masyarakat, pengusaha, Perusahaan Listrik Regional, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota dan Dewan untuk sampai pada tarif listrik regional yang diterima semua pihak. Tentu saja dengan harapan agar supply listrik yang diinginkan terpenuhi. Tanpa itu, ada kekuatiran, kita tetap berada pada jalan tak berujung, tanpa solusi, sementara waktu habis terbuang, supply listrik tak kunjung bertambah.

Dari sisi perusahaan, konsumen harus diyakinkan bahwa dengan tarif listrik regional, supply listrik akan terpenuhi dan handal. Tarif yang diusulkan terutama  karena  pertimbangan fluktuasi harga energi primer, inflasi dan gejolak nilai tukar yang sangat mempengaruhi  biaya suku cadang, perawatan mesin pembangkit, dan biaya input lainnya yang menjadi dasar utama BPP.

Tidak kalah pentingnya untuk diketahui adalah kesediaan masyarakat untuk membayar (willingness to pay) jika supply listrik memenuhi kebutuhan mereka, tidak lagi byar pet. Di samping itu, kepercayaan publik terhadap efisiensi perusahaan listrik regional harus dibuktikan misalnya oleh auditor independen, bahkan jika dimungkin oleh  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Penentuan tarif listrik regional di Kepulauan kita harapkan bukanlah semata pertarungan politik, tetapi adalah pertarungan untuk masa depan dan kesejahteraan anak negeri yang kelak akan tetap dikenang. Mungkin bukan sebuah solusi Pareto Optimal untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungkan satu pihak tanpa harus mengorbankan salah satu pihak. Namun solusi “win-win” adalah sebuah keniscayaan.

FE UMRAH jalin kerjasama pengembangan Entrepreneurship mahasiswa

0

Siap Cetak Entrepreneur Handal

Tanjungpinang(warta umrah)- Fakultas Ekonomi UMRAH  menjalin kerjasama dengan Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Kepulauan Riau  dalam Hal pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa FE UMRAH. Demikian yang diungkapkan oleh Dekan FE UMRAH, Nuzul Achyar, Ph.D saat ditemui reporter FE UMRAH di ruang kerjanya Jum’at (14/8).  Kerjasama itu diselenggarakan setelah Pihak Dinas Koperasi & UKM Prov. Kepri menemui beliau langsung. Jum’at pagi di Dekanat Fakultas Ekonomi UMRAH.

Kerjasama tersebut merupakan awal yang baik bagi FE UMRAH dan sekaligus juga Menjadi ajang pelatihan Entrepreneurship bagi Mahasiswa. Selanjutnya Nuzul juga  mengatakan bahwa hal tersebut juga merupakan respon Fakultas terhadap aspirasi mahasiswa FE UMRAH yang ingin membuka usaha sendiri. Untuk itulah Pihak Fakultas sudah menindaklanjutinya dengan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, dalam hal ini mendapat respon yang baik dari Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Kepulauan Riau.

Kerjasama ini diwujudkan dengan memfasilitasi Mahasiswa dengan Kios yang bisa dipergunakan untuk memperdagangkan Hasil kreativitas mahasiswa baik berbentuk jasa maupun Produk jadi seperti Kaos, atau handycraft. Mahasiswa/i juga dibimbing dan dilatih untuk melakukan pembukuan dan auditing keuangan sebagai bagian dari pelatihan praktik Manajemen Usaha. Untuk masalah modal akan diusahakan melalui pinjaman lunak oleh bank.

Untuk dapat diberikan Pinjaman, mahasiswa terlebih dahulu harus mengajukan proposal pendirian usaha, lengkap dengan rencana pengembangan usahanya. Untuk Modal awal diperkirakan sekitar 50 Juta Rupiah, dan diperkirakan akan meningkat sesuai dengan kemampuan Pembiayaan. Hal ini merupakan contoh konkrit dari langkah positif untuk mencapai visi dari Universitas untuk mempersiapkan agar mahasiswa lebih siap dalam membangun dan mengembangkan usaha sendiri  setelah lulus nanti. (dip)

Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

0

Oleh: Nuzul Achjar – Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah) dan Pengajar Manajemen Infrastruktur FEUI

Dalam audisi calon menteri untuk mengisi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II pada 16-19 Oktober 2009, kepada salah satu calon menteri tim ekonomi, presiden SBY berpesan tentang pentingnya upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkualitas. Dalam Kebijakan Ekonomi Makro 2010, dari lima sasaran yang akan dicapai, dua di antaranya adalah tentang pertumbuhan ekonomi berkualitas dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini diulangi lagi dalam pidato pelantikan SBY sebagai presiden masa bakti 2009-2014 pada Selasa, 20 Oktober 2009.

Menjadi pertanyaan kita, bagaimanakah relevansi pertumbuhan ekonomi berkualitas dan kesejahteraan masyarakat bagi Provinsi Kepulauan Riau dan apa implikasinya. Di media massa, adalah merupakan hal yang biasa jika kita membaca berbagai indikator ekonomi makro nasional seperti pertumbuhan ekonomi, yang lazim juga disebut sebagai pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), ataupun pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada level regional. Di samping PDB dan PDRB, dikenal pula indikator ekonomi makro lainnya seperti inflasi, indeks harga konsumen (IHK), tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan lainnya.

Kitapun memahami bahwa berbagai indikator ekonomi makro sebagaimana telah disebutkan, berguna untuk mengevaluasi kinerja pertumbuhan produksi ataupun konsumsi barang dan jasa. Namun indikator ekonomi makro mempunyai keterbatasan tersendiri, khususnya jika dimaksudkan untuk mengevaluasi kesejahteraan masyarakat. Pendapatan per kapita yang didekati dengan PDRB per kapita misalnya belum memberikan gambaran yang lebih riil tentang kesejahteraan.
Menyadari akan kelemahan dan keterbatasan indikator ekonomi makro tradisional untuk mengukur kesejahteraan, Presiden Prancis Nicholas Sarkozy pada Februari 2008 menyampaikan keprihatinannya kepada para ekonom terkemuka seperti Yoseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paul Fitoussi.

Stiglitz dan kawan-kawan kemudian membentuk sebuah komisi yang disebut “Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress” (Komisi Pengukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial). Belum lama ini sekitar pertengahan tahun 2009, komisi telah mempublikasikan hasil kajiannya. Dalam laporannya, Stiglitz dan kawan-kawan  menyoroti berbagai kelemahan ataupun keterbatasan indikator ekonomi makro tradisional untuk mengukur pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam penggunaan indikator ekonomi makro tersebut. Namun karena perubahan teknologi, bergesernya pola konsumsi barang dan jasa, data-data yang diolah haruslah mencerminkan cita rasa kesejahteraan.  Jadi kuncinya terletak pada proses memasak data-data tersebut.

Kita ambil contoh tentang nilai tambah sektor jasa pendidikan dan kesehatan yang merupakan bagian dari perhitungan PDB atau PDRB. Nilai tambah sektor jasa tersebut lazimnya diperoleh dari pendapatan dari upah dan gaji guru, pengajar, dokter dan paramedis, termasuk pendapatan atau surplus usaha institusi pendidikan dan kesehatan.
Namun nilai tambah tersebut tidak akan banyak berbicara tentang indikator kualitas pendidikan dan kesehatan, yang justru penting untuk mengevaluasi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Di sini kita berbicara tentang ouput, outcome dan kualitas faktor-faktor  produksi.

Ketika terjadi kemacetan kendaraan di dalam kota, katakanlah di Batam atau Tanjung Pinang, konsumsi BBM menjadi tidak produktif alias boros. Peningkatan konsumsi BBM adalah kata lain peningkatan produksi BBM. Tentu logis pula jika catatan nilai tambah sektor industri juga meningkat. Namun catatan tentang pertumbuhan sektor industri tersebut akan bertolak belakang dengan aspek kesejahteraan. Emisi karbon yang ditimbulkan oleh konsumsi BBM menurunkan kualitas lingkungan, karena meningkatnya polusi udara.

Stiglitz  mengingatkan bahwa berubahnya pola konsumsi secara global mengharuskan kita melihat indikator ekonomi makro tidak semata dari sisi produksi. Masyarakat semakin banyak menggantungkan kegiatan ekonomi, sosial dan budaya kepada dukungan teknologi informasi (TIK) atau information and communication technology (ICT). Untuk itu diperlukan reformasi tentang indikator ekonomi makro. Krisis global yang terjadi dewasa ini adalah akibat dari kelengahan kita yang terlalu terpaku pada sisi produksi, tanpa memperhatikan pola konsumsi, termasuk utang korporasi. Kita tidak mempunyai sistem peringatan dini, dan akibatnya pun jelas: kredit macet di sektor properti di AS yang berdampak sangat luas. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa dasar yang kokoh tidak lebih dari perekonomian buih (bubble economy).

Tapi baiklah, tak perlu kita berpikir terlalu ideal sebagaimana 12 saran yang diajukan oleh Stiglitz untuk memperbaiki indikator ekonomi makro dan kemajuan sosial. Bagi Kepulauan Riau, yang paling pokok adalah upaya untuk terus menerus memperbaiki kualitas data ekonomi makro dan mikro, termasuk data sosial budaya. Tidak mungkin kita dapat membuat keputusan dengan baik tanpa didukung oleh analisis data yang baik. Kebutuhan akan data yang baik tidak hanya penting untuk para pengambil keputusan di berbagai tingkat pemerintahan, tetapi juga untuk para peneliti, akademisi, bahkan oleh pihak swasta sekalipun.

Jikapun masih banyak kelemahan data tentang indikator ekonomi makro dan mikro di Kepuluauan Riau, rasanya tidaklah adil jika kesalahan semata ditujukan pada keterbatasan ataupun kelemahan sumber daya manusia. Seringkali kualitas data yang tersedia tidak didukung oleh perangkat infrastruktur seperti jaringan informasi dan teknologi komunikasi antar instansi pemerintah daerah, baik antar kabupaten dan provinsi maupun maupun intra provinsi.

Data tentang indikator ekonomi makro di Provinsi Kepulauan Riau sebenarnya cukup baik. Laju inflasi kota Batam yang mencapai 8,6 persen pada tahun 2008 merupakan terendah ke empat dari 45 kota di Indonesia. Inflasi tertinggi terjadi di kota Pangkal Pinang (Provinsi Kepulauan Bangka Belitung – Babel) yang mencapai 18,4 persen pada tahun yang sama. Tingkat kemiskinan di Kepulauan Riau menurun dari 10,3 persen pada tahun 2007 menjadi 9,2 persen pada 2008. Dengan PDRB per kapita yang relatif hampir sama dengan Provinsi Riau dan Provinsi Babel yaitu berkisar Rp 2874 – Rp 2883, pada tahun 2008 tingkat kemiskinan di Kepri (9,2 persen) lebih tinggi dibandingkan Babel (8,5 persen), walaupun lebih baik dari Provinsi Riau (10,5 persen).

Apa arti angka-angka di balik itu? Pertama adalah optimisme, dorongan dan kerja keras bahwa Kepulauan Riau akan mampu mencapai target Milleneum Development Goal (MDG) 2015. Kedua, mengejar ketertinggalan dengan monitoring dan evaluasi yang terus menerus tentang kualitas pendidikan dan kesehatan melalui teknologi informasi secara berkala, bahkan real time. Ketiga, memberikan kesadaran kepada semua pihak bahwa infrastruktur TIK atau ICT merupakan bagian tidak terpisahkan untuk memperbaiki kualitas hidup melalui akses informasi.

Bersama-sama dengan jaringan listrik, jaringan pipa air bersih, ICT merupakan bagian utilitas jaringan (network utilities) yang sangat penting untuk mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia (social overhead capital).
Nyaris tidak ada lagi institusi pendidikan tinggi yang tidak didukung oleh ketersediaan ICT dalam bentuk yang sederhana sekalipun. Ranking universitas antara lain dapat dilihat dari indikator ketersediaan ICT untuk mempermudah komunikasi, interaksi, tukar menukar informasi di antara pengajar, peneliti. Banyak kreatifitas mahasiswa muncul karena didukung oleh ketersediaan ICT di kampus.

Dalam konteks provinsi maritim, dengan dukungan ICT, adalah ideal jika institusi pemerintah ataupun pendidikan tinggi mempunyai database yang terkait dengan kegiatan maritim baik data numerik, tabular maupun spasial. Dengan database ini kita dapat memperoleh informasi tentang estimasi kebutuhan akan tenaga kerja klerikal dan manajerial di bidang konstruksi kapal, jasa transportasi kargo, jasa forwarding, asuransi maritim, akuntan publik dan perusahaan, dan tenaga kerja yang terkait dengan dunia maritim dan kelautan yang dapat dipasok oleh anak negeri. Bukankah kita berniat  untuk meningkatkan kinerja perekonomian regional Kepulauan Riau yang berkualitas, berdaya saing dan kreatif. Semoga. ***

Dinamika Ekonomi Maritim Selat Malaka

0

Nuzul Achjar, Ph.D
Dekan Fakultas Ekonomi UMRAH

Kita boleh mengatakan bahwa perbincangan tentang Kepulauan Riau adalah sebuah cerita bergambar tentang pulau-pulau yang berserakan di  Selat Malaka. Mungkin juga  kita beranggapan bahwa bayangan tentang Kepulauan Riau adalah cerita tentang citra maritim, ataupun tentang kekayaan minyak dan gas yang dieksploitasi di tengah Laut Cina Selatan yang luas tak bertepi. Jika demikian adanya, paling tidak, sebuah gagasan tentang arah pembangunan Kepulauan Riau seyogianya sedapat mungkin tidak terlalu bias pada cara pandang kontinental (daratan) yang menafikan realitas geografis kepulauan.

Berbicara tentang strategi pembangunan Kepulauan Riau, pertanyaan sederhana yang perlu kita ajukan terlebih dahulu adalah, apa sebenarnya yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi (berbasis) maritim dan pengembangan ekonomi kerakyatan melalui pengelolaan sumber daya kelautan seperti perikanan, akuakultur dan sebagainya.
Jawaban dari pertanyaan sederhana di atas barangkali menimbulkan implikasi lain yaitu munculnya pertanyaan: apakah ke depan kita sudah mempunyai persepsi yang sama tentang orientasi dan arah pembangunan ekonomi, sosial dan kemasyarakatan daerah kepulauan ini?  Ada risiko yang harus kita tanggung jika kita mempunyai persepsi yang tidak sama tentang pembangunan ekonomi berbasis maritim, yaitu kehilangan orientasi dan fokus.

Antara Maritime dan Marine

Pada dasarnya, secara konseptual, pembangunan bidang maritim (maritime) berbeda dengan  kelautan (marine). Dalam konteks ekonomi, sebagaimana dikemukakan masyarakat Eropa (2007), ekonomi maritim erat kaitannya dengan industri galangan kapal dan perbaikan, jasa pelabuhan, angkutan kontainer, jasa forwarding, asuransi, agen dan carter kapal, bahkan jasa penyimpanan migas di pelabuhan (bunkering).
Istilah kelautan merujuk pada  laut sebagai wilayah geopolitik dan wilayah sumber daya alam. Kebijakan kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim sebagai aspek aplikatifnya (Kusumaatmadja, 2005). Walaupun dalam kehidupan sehari-hari ditemukan wilayah abu-abu antara kegiatan maritim dan kelautan, namun secara konseptual masing-masing mempunyai ruang lingkup dan penekanan berbeda.

Sudut pandang geopolitik tentang Selat Malaka sejak awal abad ke 15 hingga awal abad ke 21 relatif tidak banyak berbeda. Isunya tetap sama bahwa Selat Malaka adalah jalur strategis sehingga harus dikuasai secara ekonomi dan politik. Hal inilah yang dilakukan Portugis ketika menguasai Kesultanan Malaka pada tahun 1511.

Selama jeda Perang Dunia I dan II, Inggris memposisikan Singapura sebagai pusat pertahanan untuk menjaga teritorial Inggris di Asia Selatan (Samudera Hindia) dan memblokade pintu gerbang Selat Malaka ke arah selatan agar Jepang tidak mudah lolos menuju Australia dan Selandia Baru.

Berbeda dengan isu geopolitik, konsentrasi kegiatan ekonomi di negara yang dilalui Selat Malaka yaitu Indonesia (khususnya Kepulauan Riau), Singapura, Malaysia dan Thailand mengalami perubahan yang sangat dinamis. Lanskap ruang ekonomi  atupun geografi ekonomi kawasan Selat Malaka telah banyak berubah.

Perubahan mulai tampak  terjadi tatkala Pelabuhan Tanjung Pelepas (PTP) di Johor – Malaysia  berhasil merebut pangsa pasar pelabuhan Singapura yang dikelola oleh PSA Corporation. Pelabuhan Singapura kehilangan lalu lintas kontainer (throughput) sebesar dua juta twenty-feet equivalent unit (TEUs) akibat pindahnya perusahaan pelayaran besar “Maersk Sealand” dari Singapura ke Pelabuhan Tanjung Pelepas pada Agustus 2000. Sebelumnya, pada Januari 2000, perusahan pelayaran “Evergreen” (Taiwan) telah lebih dahulu merelokasikan kegiatan mereka ke Tanjung Pelepas.

Selama beberapa dekade sebelumnya, kekuatan Singapura sebagai pelabuhan utama (hub) tidak tergoyahkan, dan tetap menjadikan Malaysia, Indonesia, dan Thailand sebagai daerah belakang (hinterland) mereka. Dengan kapasitas pelabuhan Negeri Singa itu mampu mengelola sekitar 21 juta TEUs, pelabuhan Singapura memang terlalu besar untuk dijadikan kompetitior yang sejarar.  Indonesia tetap saja berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan (feeder port).

Inovasi dan Tata Kelola

Perubahan pola geografi ekonomi Selat Malaka memberikan kita sebuah pelajaran bahwa, betapapun kuatnya Singapura dengan keunggulan geografis, dan dengan pelayanan prima sekalipun, daya saing pelabuhan ini sempat goyah karena strategi yang jitu dan innovatif oleh manajemen pelabuhan Tanjung Pelepas. Di samping inovasi, kunci sukses lainnya adalah regulasi dengan tata kelola kepelabuhanan yang baik. Ini adalah persoalan penguatan institusi.
Belajar dari pengalaman itu pula maka PSA Corporation mau tidak mau harus  merubah strategi  mereka dengan lebih proaktif melalui penguasaan setidaknya 11 terminal kontainer pada skala global, di Thailand, Brunei, Korea, Jepang, hingga di beberapa negara Eropa. Di tengah perubahan geograf ekonomi Selat Malaka yang dinamis, Kepulauan Riau hendaknya tetap menjadi Kepulauan Riau dengan konsepsi maritim yang kita sesuaikan kondisi riil yang ada, namun dengan visi yang jelas.
Keunggulan geografi Kepulauan Riau, khususnya free trade zone (FTZ) Batam, Bintan, Karimun (FTZ-BBK) dalam banyak memang halnya lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lain di seluruh Nusantara. Namun posisi unggul ini ternyata belum cukup untuk menggerakan roda investasi untuk mendorong pertumbuhan  tanpa dukungan infrastruktur listrik, air bersih, dan lain sebagainya secara terintegrasi.
Kalaupun kita perlu memasukkan konsepsi klaster industri berbasis maritim untuk pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) ke dalam FTZ-BBK, di luar investasi besar yang sudah ditetapkan. Maka tetap saja salah satu prasyaratnya adalah ketersediaan infrastruktur agar dapat menciptakan peluang munculnya keunggulan kompetitif. Dengan inovasi, kita harapkan kelak, berita di media massa akan lebih banyak memuat berita tentang terobosan investasi berbasis maritim di FTZ-BBK, bukan hanya sekedar masalah perizinan impor yang tampaknya lebih banyak muncul di permukaan.
Pesan yang perlu kita sampaikan kepada institusi pemerintah provinsi dan kabupaten kota serta institusi pendidikan tinggi  maritim di Kepulauan Riau adalah, Pertama, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus kembali melihat realitas yang ada bahwa Kepulauan Riau adalah entitas yang berbeda dengan kontinen sehingga segala sesuatu harus dilihat dengan jernih dan objektif bahwa pada skala tertentu. Masyarakat lebih membutuhkan pelabuhan dan pelayaran reguler ketimbang jalan tol. Masyarakat lebih merindukan inovasi anak negeri untuk merubah energi gelombang samudera menjadi listrik ketimbang kredit lunak untuk membeli genset.
Kedua, institusi pendidikan tinggi yang menyandang “ruh” maritim seperti misalnya Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), sejak awal sudah harus menyiapkan kerangka dasar ataupun landasan (platform) yang jelas dan kokoh. Tanpa itu, dalam jangka panjang, institusi pendidikan tinggi  dikuatirkan  akan berada pada posisi “no where”, status quo, tanpa dinamika, dan gagal sebagai agen transformasi  menuju masyarakat madani, mandiri, jujur dan terpercaya – nilai-nilai klasik budaya Melayu yang universal.

Sejak dini, universitas harus mampu memberikan contoh dan keteladanan dengan praktek tata kelola kepemerintahan yang baik serta dengan visi yang jelas. Selamat ulang tahun ke lima Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, dan selamat Dies Natalis ke dua, UMRAH. Anak negeri sedang menanti. ***