Masyarakat batam harus bersiap-siap untuk beralih profesi yang selama ini hanya mengandalkan pekerjaan sektor Industri perakitan elektronik, galangan kapal, dan pertukangan. Harus berfikir untuk bekerja atau menciptakan lapangan kerja sendiri atau berkelompok pada sektor industry manufaktur seperti garmen, peraboran rumah tangga, pembuatan kemasan produk, kuliner, industry mesin pendukung pekerjaan atau ke sektor perdagangan, sektor pariwisata dan Jasa lainnya.
Kondisi ini setelah melihat ekonomi batam sulit untuk kembali normal bahkan semakin memburuk. banyak investor yang mulai menarik diri, selain batam dipengaruhi oleh ekonomi global, soal birokrasi dan perizinan yang berbelit-belit karena dualisme kepemimpinan Pemko dan Badan Pengusahaan (BP) Batam, ditambah lagi bahwa batam saat ini bukan satu-satunya andalan area investasi di kawasan Asean, Dengan kondisi ini tentunya masyarakat akan sangat-sangat merasa kehilangan aktivitas pekerjaan dan sumber ekonominya. Bukan saja masyarakat namun juga akan berpengaruh terhadap pembangunan Kota Batam karena berdampak pada target capaian baik sektor penerimaan keuangan daerah dan juga pelaksanaan program-program pemerintah yang telah ditetapkan.
Otoritas Tidak Menjaga Batam Dengan Baik
Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Pemerintah Kota Batam ahir-ahir ini tidak menjaga Batam dengan baik, dalam studi manajemen operasional pemilihan lokasi pabrik (Industri) oleh manajemen perusahan baik Lokal maupun Asing ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain; Lahan yang tersedia, Regulasi yang tertata baik dan tidak berbelit-belit, kondusivitas keamanan darah, ketersediaan tenagakerja, Upah yang layak, dekat dengan market (pasar) internasional, tersedianya bahan baku, terjaganya persaingan.
Pada salah satu media on line yang kami baca, banyak komentar yang saling menyudutkan, setelah kondisi Batam hari ini menjadi begini, komentar yang bernada bahwa beragam persoalan yang terjadi di Batam hari ini disebabkan oleh berbelit-belitnya urusan perizinan, administrasi yang tumpang tindih, kisruh kewenangan antara Badan Pengusahaan (BP) dan Pemko Batam yang tidak kunjung teratasi, hingga tingginya upah minimum kota (UMK), dan tutupnya berbagai industry besar dan kecil di Kota batam yang dikenal sebagai kota industry di Kepulauan Riau ini, terahirnya rendahnya volume dan nilai realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) saat ini.
Ada juga yang mengomentari bahwa, Selain persoalan birokrasi juga persoalan, UMK Batam yang terus naik setiap tahunnya dan tidak kompetitif dibanding negara lain di ASEAN juga dinilai sebagai faktor yang membuat investor tak betah. beberapa negara tetangga tersebut seperti Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam yang merupakan kompetitor dalam menarik investor, nilai UMK-nya relatif lebih rendah.
Di Vietnam, UMK-nya hanya Rp2,2 juta per bulan, Thailand Rp2,8 juta per bulan, dan Malaysia Rp3 juta per bulan. Beberapa negara lain malah lebih rendah, seperti Myanmar yang hanya Rp940 ribu per bulan dan Laos Rp1,5 juta per bulan. Sementara Batam, UMK-nya saat ini mencapai Rp3,2 juta per bulan.
Di negara lain, UMK tidak naik setiap tahun, tapi diputus berdasarkan kondisi ekonomi setiap tahunnya. Kalau kita, tiap tahun pasti naik dan diperkirakan lima tahun lagi UMK kita Rp5 juta per bulan,” menurut berita tersebut.
Sebagai akademisi, kami melihat secara utuh dari berbagai komentar di atas, dan melakukan analisis serta memberikan tanggapan bahwa kondisi Batam hari ini sebenarnya sesuatu yang wajar saja terjadi, kalau kita kembali mengingat peristiwa apa yang dirasakan oleh tenagakerja dan masyarakat di Pulau Batam sekitar tahun 1997 yang lalu. UMK batam tidak langsung langsung dari angka Rp.3 juta atau Rp,3,2 juta sepeti hari ini. Artinya UMK sebesar Rp.3,2 juta hari ini hanyalah buah dari cipta kondisi ekonomi nasional yang menyeluruh yang digagas oleh pemerintah pusat, disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat menaikkan harga BBM yang mempengaruhi terhadap berbgaai faktor-faktor pembiayaan yang lainnya yang dialami oleh masyarakat seperti; naiknya biaya sektor transportasi, sektor harga kebutuhan pokok, sektor biaya sewa dan lain-lainnya. Merosotnya nilai rupiah dari antara Rp.8 ribu hingga Rp9,300 rupiah menjadi saat ini Rp.13,-an rupiah per-dolar AS.
Mengacu pada tinginya UMK Kota Batam dibandingkan dengan UMK negara-negara lainnya di ASEA, yang disebutkan di atas sebenarnya bukan kesalahan masyarakat, masyarakat hanya penyediakan jasa. Kebijakan ada di tangan pemerintah dan lembaaga terkait. Kemudian adanya negara-negara yang UMK nya di bawah Batam, sesuatu yang wajar saat ini, karena negara tersebut adalah negara yang menjadi kawasan baru dari Industri di ASEA setelah Batam dan juga bagian dari altrenatif Lokasi yang dipilih oleh Manajemen perusahan karena Batam akhir-akhir ini dilanda berbagai persoalan seperti yang disebutkan diatas. Selama ini pemerintah Kota Batam dan BP Batam, hanya mengelola Penerimaan Pendapatan Dareah (PPD) dari hasil produksi indusri yang ada, namun Pemerintah Dareah, dan BP Kawasan Batam tidak melihat adanya celah dari Investor untuk melirik negara-negara lain di ASEAN sebagai Lokasi Industri selain Batam.
Hal-hal transformasi knowledge seperti ini yang sulit di pahami oleh para praktisi dan birokrat di Kota Batam. Selama ini mereka tidak melakukan dan melibatkan akademisi dalam berbagai kajian-kajian pembangunan di darah ini. Padahal berkaitan dengan kondisi ekonomi, sosial, mestinya dilakukan kajian-kajian akademisnya secara serius, sehingga dampak sosial ekonomi, pada perusahaan yang ada juga turut diperhitungkan, apakah perusahan akan bertahan, atau harus pindah ke Lokasi yang lebih strategis. Karena negara-negara lain juga memiliki peluang yang sama pada suatu waktu, dan ini telah terbukti. Sudah ada dalam teori, namun bisnis kita di Indonesia memang demikian rapuhnya karena tidak di manage (dikelola) secara professional, kita menyadari bahwa investor lokal (dalam negeri) sangat sedikit jumlahnya dan tidak mampu mengangkat petumbuhan ekonomi dan menopang pembangunan dareah jika dibandingkan dengan nilai penerimaan dari investor Asing
Mestinya sebagai institusi yang terlibat dalam pengambil kebijakan di Kota Batam ini, semuanya harus mencermati forcasting (meramalkan) apa yang akan terjadi di Kota Batam pada masa sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. contohnya antara tahun 1997-2017.
Dua puluh tahun yang lalu, tepatnya tahun 1997 Batam sangat kondusif, sangat ramah, masyarakat yang pada umumnya pekerja khususnya di Batamindo saja mencapai hingga belasan ribu orang, ekonominya tumbuh dengan baik . Setelah reformasi kondisi politik di Batam begitu cepat dikuasai sehingga lupa mengkondisikan apakah batam ini punya sumber ekonomi selain dari Industri yang digerk-kan oleh investor asing? yang pada saat itu membuat batam sangat mempesona, bahkan menjadi seorang politikus dan Bupati/Walikota di Batam sama dengan menjadi seorang Walikota di DKI.
Batam Hari Ini
Begitu masuk tahun 2017, setelah dua puluh tahun berjalan, hari ini kondisi Batam berbalik ke 70 derajat pemerintah dan lembaga lainnya yang berwenang mengurusi Batam merasa kehilangan kekuasaan, kehilangan kewenangan, kehilangan manage (urusan), hingga ahirnya mengeluarkan berbagai statemen, mulai dari birokrasi yang tidak sehat, pasar ekonomi global yang Lesu, UMK terlalu tinggi, menarik dirinya investor, keamananan yang tidak kondusif, Issu Provinsi Baru, dan lain-lain sebagainya.
Benang merahnya itu ada pada bapak-bapak yang punya kewenangan terhadap Batam. Semestinya 10 – 15 tahun yang lalu Batam ini sudah memiliki pertanyaan?
“Mau dijadikan apa Batam ini dua puluh tahun kemudian (hari ini) semestinya sudah diantisipasi sejak tahun 1997 yang lalu”. Bukan sebaliknya ketika Berjaya dengan industry yang dianggap satu-satunya kawasan di Asea, hari ini tidak lagi satu-satunya di ASEA, inilah yang disebut persaingan.
Kisruh Pemerintah Kota dan BP Kawasan pada pengelolaan Batam sudah seharusnya di selesaikan, seharusnya lebih mementingkan Batam ini 10 tahun kedepan akan mengalami kondisi seperti apa?
Batam adalah Kota Industri, yang selayaknya dikelola oleh mereka yang memiliki visi industry dan perencanaan yang matang karena rentan terhadap keggalan pengelolaan. Industri dibangun dari Investor Asing yang tidak punya beban berlebihan seperti yang dialami oleh PMDN yang mana modalnya sedikit, pasarnya sedikit, produksinya terbatas. PMA adalah industry Asing, yang hanya membawa manajemennya ke Batam dan Kepulauan Riau, sementara fasilitas yang digunakan bersifat sewa, Tenaga kerja dengan sitem kontrak membuat investor dapat memasang target jangka pendek. 5 – 10 tahun di suatu negara. Sementar pemerintah harus menanggung beban seperti; Penanganan pengangguran, Penangangan Harga, Penanganan Produksi, Penanganan Keamanan, Penanganan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan yang tak terpisahkan dari dampak penutupan berbagai perusahaan di suatu daerah seperti Batam.
Kami sering mendengar keluhan pemeritnah, masyarakat dan mengkajinya pada berbagai forum tentang Batam dan Kepri, yang dipengaruhi oleh ekonomi global, tapi pemerintah Batam dan BP (Badan Pengushaan) Batam, lupa bagaimana mengantisipasi pesaingan global tersebut, seperti misalnya; bagaimana agar Industri tetap terjag. Para investor bukan berarti mereka tidak melakukan kegiatan perusahaan, akan tetapi mereka memanfaatkan dan masuk ke negara-negara lain seperti Myanmar, Vietnam yang sedang melakukan pengembangan industry seperti Batam dulunya, karena karteristik masyarakat, ekonomi dan sosialnya tidak jauh berbeda dengan masyarakat Indonesia. Pemerintah lupa melakukan pengembangan industry kecil dan menengah (entrepreneur) , kecuali hanya memperluas sektor perdagangan, sementara konsumennya tidak memiliki target belanja karena telah kehilangan pekerjaan sebagai mata pencaharian, ini mata rantai yang tak terpisahkan. Semoga pemerintah Kota Batam dan BP Kawasan Batam, secepatnya melakukan terobosan. Semoga tulisan ini bermanfaat…