Nuzul Achjar, Ph.D
Dekan Fakultas Ekonomi UMRAH
Kita boleh mengatakan bahwa perbincangan tentang Kepulauan Riau adalah sebuah cerita bergambar tentang pulau-pulau yang berserakan di Selat Malaka. Mungkin juga kita beranggapan bahwa bayangan tentang Kepulauan Riau adalah cerita tentang citra maritim, ataupun tentang kekayaan minyak dan gas yang dieksploitasi di tengah Laut Cina Selatan yang luas tak bertepi. Jika demikian adanya, paling tidak, sebuah gagasan tentang arah pembangunan Kepulauan Riau seyogianya sedapat mungkin tidak terlalu bias pada cara pandang kontinental (daratan) yang menafikan realitas geografis kepulauan.
Berbicara tentang strategi pembangunan Kepulauan Riau, pertanyaan sederhana yang perlu kita ajukan terlebih dahulu adalah, apa sebenarnya yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi (berbasis) maritim dan pengembangan ekonomi kerakyatan melalui pengelolaan sumber daya kelautan seperti perikanan, akuakultur dan sebagainya.
Jawaban dari pertanyaan sederhana di atas barangkali menimbulkan implikasi lain yaitu munculnya pertanyaan: apakah ke depan kita sudah mempunyai persepsi yang sama tentang orientasi dan arah pembangunan ekonomi, sosial dan kemasyarakatan daerah kepulauan ini? Ada risiko yang harus kita tanggung jika kita mempunyai persepsi yang tidak sama tentang pembangunan ekonomi berbasis maritim, yaitu kehilangan orientasi dan fokus.
Antara Maritime dan Marine
Pada dasarnya, secara konseptual, pembangunan bidang maritim (maritime) berbeda dengan kelautan (marine). Dalam konteks ekonomi, sebagaimana dikemukakan masyarakat Eropa (2007), ekonomi maritim erat kaitannya dengan industri galangan kapal dan perbaikan, jasa pelabuhan, angkutan kontainer, jasa forwarding, asuransi, agen dan carter kapal, bahkan jasa penyimpanan migas di pelabuhan (bunkering).
Istilah kelautan merujuk pada laut sebagai wilayah geopolitik dan wilayah sumber daya alam. Kebijakan kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim sebagai aspek aplikatifnya (Kusumaatmadja, 2005). Walaupun dalam kehidupan sehari-hari ditemukan wilayah abu-abu antara kegiatan maritim dan kelautan, namun secara konseptual masing-masing mempunyai ruang lingkup dan penekanan berbeda.
Sudut pandang geopolitik tentang Selat Malaka sejak awal abad ke 15 hingga awal abad ke 21 relatif tidak banyak berbeda. Isunya tetap sama bahwa Selat Malaka adalah jalur strategis sehingga harus dikuasai secara ekonomi dan politik. Hal inilah yang dilakukan Portugis ketika menguasai Kesultanan Malaka pada tahun 1511.
Selama jeda Perang Dunia I dan II, Inggris memposisikan Singapura sebagai pusat pertahanan untuk menjaga teritorial Inggris di Asia Selatan (Samudera Hindia) dan memblokade pintu gerbang Selat Malaka ke arah selatan agar Jepang tidak mudah lolos menuju Australia dan Selandia Baru.
Berbeda dengan isu geopolitik, konsentrasi kegiatan ekonomi di negara yang dilalui Selat Malaka yaitu Indonesia (khususnya Kepulauan Riau), Singapura, Malaysia dan Thailand mengalami perubahan yang sangat dinamis. Lanskap ruang ekonomi atupun geografi ekonomi kawasan Selat Malaka telah banyak berubah.
Perubahan mulai tampak terjadi tatkala Pelabuhan Tanjung Pelepas (PTP) di Johor – Malaysia berhasil merebut pangsa pasar pelabuhan Singapura yang dikelola oleh PSA Corporation. Pelabuhan Singapura kehilangan lalu lintas kontainer (throughput) sebesar dua juta twenty-feet equivalent unit (TEUs) akibat pindahnya perusahaan pelayaran besar “Maersk Sealand” dari Singapura ke Pelabuhan Tanjung Pelepas pada Agustus 2000. Sebelumnya, pada Januari 2000, perusahan pelayaran “Evergreen” (Taiwan) telah lebih dahulu merelokasikan kegiatan mereka ke Tanjung Pelepas.
Selama beberapa dekade sebelumnya, kekuatan Singapura sebagai pelabuhan utama (hub) tidak tergoyahkan, dan tetap menjadikan Malaysia, Indonesia, dan Thailand sebagai daerah belakang (hinterland) mereka. Dengan kapasitas pelabuhan Negeri Singa itu mampu mengelola sekitar 21 juta TEUs, pelabuhan Singapura memang terlalu besar untuk dijadikan kompetitior yang sejarar. Indonesia tetap saja berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan (feeder port).
Inovasi dan Tata Kelola
Perubahan pola geografi ekonomi Selat Malaka memberikan kita sebuah pelajaran bahwa, betapapun kuatnya Singapura dengan keunggulan geografis, dan dengan pelayanan prima sekalipun, daya saing pelabuhan ini sempat goyah karena strategi yang jitu dan innovatif oleh manajemen pelabuhan Tanjung Pelepas. Di samping inovasi, kunci sukses lainnya adalah regulasi dengan tata kelola kepelabuhanan yang baik. Ini adalah persoalan penguatan institusi.
Belajar dari pengalaman itu pula maka PSA Corporation mau tidak mau harus merubah strategi mereka dengan lebih proaktif melalui penguasaan setidaknya 11 terminal kontainer pada skala global, di Thailand, Brunei, Korea, Jepang, hingga di beberapa negara Eropa. Di tengah perubahan geograf ekonomi Selat Malaka yang dinamis, Kepulauan Riau hendaknya tetap menjadi Kepulauan Riau dengan konsepsi maritim yang kita sesuaikan kondisi riil yang ada, namun dengan visi yang jelas.
Keunggulan geografi Kepulauan Riau, khususnya free trade zone (FTZ) Batam, Bintan, Karimun (FTZ-BBK) dalam banyak memang halnya lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lain di seluruh Nusantara. Namun posisi unggul ini ternyata belum cukup untuk menggerakan roda investasi untuk mendorong pertumbuhan tanpa dukungan infrastruktur listrik, air bersih, dan lain sebagainya secara terintegrasi.
Kalaupun kita perlu memasukkan konsepsi klaster industri berbasis maritim untuk pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) ke dalam FTZ-BBK, di luar investasi besar yang sudah ditetapkan. Maka tetap saja salah satu prasyaratnya adalah ketersediaan infrastruktur agar dapat menciptakan peluang munculnya keunggulan kompetitif. Dengan inovasi, kita harapkan kelak, berita di media massa akan lebih banyak memuat berita tentang terobosan investasi berbasis maritim di FTZ-BBK, bukan hanya sekedar masalah perizinan impor yang tampaknya lebih banyak muncul di permukaan.
Pesan yang perlu kita sampaikan kepada institusi pemerintah provinsi dan kabupaten kota serta institusi pendidikan tinggi maritim di Kepulauan Riau adalah, Pertama, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus kembali melihat realitas yang ada bahwa Kepulauan Riau adalah entitas yang berbeda dengan kontinen sehingga segala sesuatu harus dilihat dengan jernih dan objektif bahwa pada skala tertentu. Masyarakat lebih membutuhkan pelabuhan dan pelayaran reguler ketimbang jalan tol. Masyarakat lebih merindukan inovasi anak negeri untuk merubah energi gelombang samudera menjadi listrik ketimbang kredit lunak untuk membeli genset.
Kedua, institusi pendidikan tinggi yang menyandang “ruh” maritim seperti misalnya Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), sejak awal sudah harus menyiapkan kerangka dasar ataupun landasan (platform) yang jelas dan kokoh. Tanpa itu, dalam jangka panjang, institusi pendidikan tinggi dikuatirkan akan berada pada posisi “no where”, status quo, tanpa dinamika, dan gagal sebagai agen transformasi menuju masyarakat madani, mandiri, jujur dan terpercaya – nilai-nilai klasik budaya Melayu yang universal.
Sejak dini, universitas harus mampu memberikan contoh dan keteladanan dengan praktek tata kelola kepemerintahan yang baik serta dengan visi yang jelas. Selamat ulang tahun ke lima Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, dan selamat Dies Natalis ke dua, UMRAH. Anak negeri sedang menanti. ***