FTZ Batam

Nuzul Achjar, Ph.D

Oleh: Nuzul Achjar*

Pada 9 Januari 2012 lalu, Presiden SBY telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No 10 Tahun 2012 Tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan dan Cukai, Serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Serta Berada di Kawasan yang telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Kawasan Bebas (Free Trade Zone) Batam, Bintan dan Karimun (FTZ BBK) sama sekali tidak disebutkan secara tersurat dalam PP tersebut. Namun kita mafhum jika beleid tersebut langsung dan tidak langsung merupakan respons terhadap opini ataupun aspirasi pengusaha di lingkaran Batam, Bintan, dan Karimun pada khususnya, dan Kepulauan Riau pada umumnya. Atas desakan pengusaha, Gubernur Kepulauan Riau aktif melobi Pemerintah Pusat untuk merevisi PP No 2 Tahun 2009.

Apa pasal? Payung hukum terkait dengan urusan perlakuan kepabeanan, perpajakan dan cukai sebelumnya yaitu PP No 2 Tahun 2009 dianggap merepotkan pengusaha yang berada di lingkaran BBK. Berdasarkan realitas di lapangan, PP No 2 Tahun 2009 dianggap tidak mewakili dinamika dan semangat yang terkandung dalam substansi free trade zone.

Keluhan pengusaha di lingkaran BBK yang sering muncul di permukaan adalah bahwa pengiriman produksi atau input produksi intra-kawasan bebas sebagaimana PP No 2 Tahun 2009, katakanlah dari Bintan ke Batam atau sebaliknya terkendala karena aturan main yang kaku, padahal masih sesama kawasan bebas.

Dengan kata lain, pengawasan terhadap pemasukan dan pengeluaran barang intra-kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas pada PP No 2 Tahun 2009 kental dengan nuansa “police power”. Pada PP No 10 Tahun 2012 yang baru ini, “pengawasan” diperhalus menjadi “tata laksana”.

Beberapa pertanyaan dan catatan yang mungkin dapat kita ajukan adalah, apakah dengan keluarnya PP No 10 Tahun 2012 menggantikan PP No 2 Tahun 2009 ini lantas investasi yang masuk ke kawasan BBK akan semakin moncer. Ibarat struktur sarana transportasi yang semakin streamline, apakah pergerakan barang dan jasa intra BBK, inter-regional dan internasional dengan BBK akan berlari kian kencang dan efisien?

Pertama, posisi Pemerintah cq Kementerian Keuangan dalam PP No 10 Tahun 2012 tampaknya tetap “kekeuh” dalam menjalankan fungsinya sebagai pemegang otoritas fiskal, penjaga gawang penerimaan negara. Sejauh menyangkut pemasukan dan pengeluaran barang non-konsumsi dari dan ke kawasan bebas, secara substantif tidak banyak perbedaan antara PP yang baru dengan PP No 2 Tahun 2009 yang digantikannya.

Untuk memberi kepastian hukum, Pasal 3 ayat (5) PP No 10 Tahun 2012 menambahkan beberapa item barang yang pemasukan dan pengeluaran oleh pengusaha tidak perlu mendapat izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan. Di antaranya buku ilmu pengetahuan, keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, perlengkapan militer, dan belasan item lainnya.

Kedua, PP No 10 Tahun 2012 sekaligus merupakan langkah antisipatif untuk memberi payung hukum ke depan untuk beberapa daerah yang akan ditetapkan statusnya sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Ketika dalam proses penyusunan revisi PP No 2 Tahun 2009, tidak sedikit usulan yang muncul agar PP pengganti yang baru menjadi lebih kondusif untuk memperbaiki iklim investasi. Dan harapan itupun pun membuncah.

Tidak sedikit pula argumentasi dibalik desakan revisi PP No 2 Tahun 2009 bahwa persaingan dengan negara lain sudah semakin ketat. Kemudian disebutkan juga bagaimana kompetitifnya Kawasan Khusus Johor yang berada tak jauh dari pelupuk mata. Perhatikan pulalah target pertumbuhan ekonomi. FTZ BBK seharusnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari rata-rata  nasional.

Tak dapat disangkal bahwa insentif pajak merupakan salah satu instrumen penting untuk menarik investasi, khususnya di kawasan bebas. PP No 10 Tahun 2012 ini tidak berbicara tentang bagaimana mendorong pembangunan infrastruktur penunjang kegiatan ekspor.

Harapan yang terlalu besar semata bersandar pada revisi PP No 2 Tahun 2009 untuk mendongkrak investasi di FTZ BBK dikuatirkan akan menyesatkan kita dari inti persoalan lain yang juga sangat mendasar. Dukungan untuk mendorong kegiatan investasi di BBK hendaknya bertolak dari pandangan ataupun mindset bahwa insentif fiskal diberikan dalam konteks mendorong kegiatan ekspor.

Tidak ada argumentasi lain yang melandasi terbentuknya kawasan bebas selain untuk kegiatan ekspor serta insentif fiskal dalam rangka meraup devisa. Penyerapan tenaga kerja (lokal), meningkatnya pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat pada umumnya adalah implikasi lain dari pembantukan kawasan khusus.

Farole et al. (2011) bahkan dalam bukunya Special Economic Zone: Progress, Emerging Challenges,and Future Directions mengatakan bahwa dewasa ini kawasan khusus mulai bergeser dari insentif fiskal ke arah peningkatan nilai tambah jasa.
Thomas Farole, Gokhan Akinci
Kehebohan yang sering muncul di media massa tentang kendala yang dihadapi oleh pengusaha dalam pergerakan barang dan jasa intra BBK sangat layak diperhatikan dan dicarikan solusinya sejauh terkait dengan upaya mendongkrak ekspor.

Kegaduhan dan protes yang terkait dengan izin impor kendaraan untuk tujuan konsumtif yang tidak ada urusan langsung dengan upaya untuk mendukung ekspor di kawasan bebas adalah keriuhan yang tidak produktif dan keluar dari substansi pengembangan kawasan.

Ketiga, dibalik semua potensi yang dimiliki BBK, sudah lama terbersit semacam kekhawatiran, sebenarnya mau kemanakah arah pengembangan BBK ini. Realitas di  lapangan menunjukkan bahwa inti dari BBK itu pada dasarnya adalah Batam. Tidak ada perkembangan investasi yang signifikan di Bintan dan Karimun dalam kerangka FTZ. Disparitas yang lebar antara kegiatan ekonomi di Batam dengan Bintan dan Karimun nyata adanya.

Kondisi infrastruktur pendukung di kedua pulau  ini masih jauh dari memadai: pelabuhan, listrik, air bersih, dan prasarana lainnya. Ekspansi pengembangan kawasan industri sudah harus mulai dialihkan ke Bintan dan Karimun untuk menjaga keseimbangan kegiatan investasi, dan sekaligus mempertimbangkan daya dukung Batam yang ditengarai sudah mendekati batas toleransi.

Dengan begitu, masih beralasan jugakah kita pada kurangnya insentif fiskal untuk menggairahkan kegiatan investasi di FTZ Bintan dan Karimun.

*Penulis adalah pengajar Fakultas Ekonomi UI dan mantan Dekan Fakultas Ekonomi UMRAH