Tarif Listrik Regional dan PSO

Nuzul Achjar, PhD

Nuzul Achjar, PhD
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) 2009-2010

Pada tanggal 8 September 2009, DPR akhirnya meloloskan RUU Ketenagalistrikan menjadi UU baru menggantikan UU No 15/1985. Dalam UU Ketenagalistrikan yang baru ini dinyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah daerah. Pemerintah Provinsi, dan Kabupaten/Kota mempunyai peran dan tanggung jawab besar untuk pengembangan sistem ketenagalistrikan, termasuk penentuan tarif listrik regional.
Di satu sisi, bagi sebagian anggota masyarakat, tarif listrik regional adalah kata lain dari kenaikan tarif yang akan memberatkan masyarakat ataupun konsumen. Di sisi lain, bagi Pemerintah, tarif listrik regional merupakan solusi penting untuk memberi insentif masuknya investasi kelistrikan sehingga diharapkan dapat menambah kapasitas pembangkit listrik untuk mengatasi persoalan defisit listrik di berbagai daerah di Indonesia, khususnya luar Jawa.

Tarif Dasar Listrik (TDL) yang seragam di berbagai daerah hingga saat ini tidak mampu lagi mengimbangi biaya produksi listrik atau Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. Pemerintah menugaskan PLN untuk menjalankan Kewajiban Pelayanan Publik atau Public Service Obligation (PSO) yaitu subsidi listrik yang diambil dari APBN. Dalam RAPBN-P tahun 2008 lalu, dengan asumsi harga minyak mentah US$98 per barrel, subsidi listrik mencapai Rp 60,28 triliun.

Konsep PSO sesungguhnya tidak hanya ditujukan pada sektor kelistrikan tetapi juga terhadap jasa lain seperti transportasi laut, udara, kereta api dan jasa pos. Pada dasarnya, PSO ditujukan untuk memberkan pelayanan kepada daerah yang tidak terjangkau oleh pelayanan publik, khususnya di daerah terpencil. Di negara maju sekalipun, PSO diberlakukan untuk angkutan ferry antar pulau yang secara ekonomis tidak menguntungkan.

Pelayaran angkutan laut oleh PELNI adalah bagian dari skema PSO. Operator atau perusahaan yang melaksanakan PSO tidak harus BUMN tetapi dimungkinkan juga oleh swasta. Dalam kenyataannya memang pelaksanaan PSO dilakukan oleh BUMN karena diberi tugas oleh Pemerintah yang tidak dapat ditolak. Pihak swasta enggan masuk pada pelayanan PSO karena besarnya subsidi dianggap tidak memadai untuk memperoleh margin keuntungan yang layak.

Perbedaan antara PSO dan Universal Service Obligation (USO) terletak pada tarif pelayanan.  Tarif pada skema USO bersifat universal yang berarti bahwa berapapun biaya investasi untuk infrastruktur dikeluarkan, tarif pelayanan berlaku sama untuk seluruh wilayah Indonesia, misalnya saja tarif telekomunikasi pedesaan.

Tarif untuk skema PSO tergantung pada struktur biaya pelayanan. Makin besar biaya produksi, makin besar pula tarif (setelah disubsidi) antar daerah. Tarif listrik di pedesaan terpencil daerah kepulauan boleh jadi akan berbeda dengan desa terpencil bukan kepulauan.

Secara filosofis, subsidi listrik pada skema PSO selain untuk daerah terpencil juga diprioritaskan kepada masyarakat berpendapatan paling rendah dan kurang beruntung, dalam hal ini adalah golongan rumah tangga R1 (< 450 VA). Kenyataannya, subsidi dengan skema PSO diberikan juga kepada semua kelompok konsumen walaupun dengan jumlah berbeda.

Terlepas dari ideologi ekonomi dan politik yang kita anut, haruslah diakui bahwa persoalan tarif dan subsidi sangat kental dengan pertimbangan politik, tidak semata-mata pada aspek keekonomian belaka. Di luar pertimbangan konstitusi, dalam konsep sejahteraan (welfare), daerah perkotaan, bahkan pedesaan yang sudah tercakup  dalam jaringan interkoneksi ataupun transmisi listrik seharusnya tidak masuk dalam skema PSO.

Dengan berlakunya UU Ketenagalistrikan baru maka setelah kota Batam yang lebih dahulu menetapkan tarif listrik regional sejak 2001, kawasan lain di Kepulauan Riau khususnya Bintan dan Karimun, cepat atau lambat akan menerapkan tarif ini.

Penentuan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik terdiri dari beberapa komponen utama yaitu: biaya bahan bakar, biaya pembangkit dan distribusi, inflasi, nilai tukar, depresiasi, biaya pegawai dan admininistrasi, dan biaya terkait lainnya. Menurut data tahun 2007, harga jual listrik di Kepulauan Riau rata-rata Rp 654,46 per kWh, di luar PLN Batam dengan harga jual rata-rata Rp 879,18 per kWh.

Tarif listrik regional juga berlaku di Jepang. Di negara ini terdapat 10 perusahaan listrik regional dengan struktur pasar yang bersifat monopoli alamiah (natural monopoly), demikian juga halnya dengan Amerikan Serikat. Monopoli alamiah dimaksudkan agar produksi listrik mencapai skala ekonomis dan memperoleh eksternalitas jaringan (network externalities) sehingga biaya produksi dapat diminimalkan.

Di Jepang, hal yang paling ditekankan adalah bahwa margin keuntungan perusahaan listrik regional dibatasi sedemikian rupa agar tercipta keadilan.

Dalam kaitannya dengan pencapaian skala ekonomis dan eksternalitas jaringan, rasanya kita sependapat dengan pandangan Ir Wirya Putra S Silalahi, anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau dalam tulisannya: “Solusi Masalah Kelistrikan di Bintan dan Batam” (Batam Pos, Senin, 24 Agustus 2009) bahwa Batam dan Bintan sebaiknya terhubung oleh jaringan interkoneksi dengan satu entitas perusahaan kelistrikan regional. Tanpa itu, dalam jangka panjang tidak ada jaminan BPP listrik per kWh Bintan akan lebih rendah dibandingkan Batam.

Di luar PLN Batam, pada 2007, subsidi listrik di Provinsi Riau (termasuk Kepuluan Riau) rata-rata mencapai Rp 590,39 per kWh yang berarti lebih tinggi dari rata-rata nasional yaitu Rp. 310,97 per kWh. Biaya variabel pembangkit listrik termal dengan bahan bakar Marine Fuel Oil (MFO) adalah Rp 1115 per kWh atau 12,2 cent dollar per kWh. Jika pembangkit listrik regional di Bintan masih menggunakan BBM seperti sekarang ini, maka BPP listrik akan tetap lebih tinggi dibandingkan Batam yang menggunakan PLTGU, dan nantinya didukung oleh PLTU.

Dapat diduga bahwa sebelum UU Ketenagalistrikan yang baru dapat dilaksanakan secara efektif,  masih akan ada proses lain seperti “judicial review” oleh organisasi kemasyarakatan kepada Majelis Konstitusi. Isu yang akan dilontarkan tidak akan terlalu jauh pada masalah ideologi ekonomi yaitu bertentangan dengan konstitusi sebagaimana amanat Pasal 33  UUD 1945.

Atas pertimbangan konstitusi ini pulalah maka pada 15 Desember 2004, Majelis Konstitusi mencabut UU No 20/2002 Tentang Ketenagalistrikan karena dianggap telah menghapus kewenangan negara, dalam hal ini kewenangan PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan (PKUK). Akhirnya, UU No 15/1985 diberlakukan kembali, dan kemudian pada 8 September 2009, muncul UU Ketenagalistrikan yang baru.

Bagaimanakah posisi masyarakat Kepulauan Riau menghadapi kondisi ini? Karena penentuan tarif listrik regional adalah proses politik tingkat nasional yang berimplikasi terhadap proses politik tingkat regional, langkah penting yang perlu dilakukan adalah dialog yang terus menerus di antara para pemangku kepentingan (stakeholders).

Dialog dengan hati terbuka, jujur, sejuk dan tanpa prasangka perlu dilakukan antara masyarakat, pengusaha, Perusahaan Listrik Regional, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota dan Dewan untuk sampai pada tarif listrik regional yang diterima semua pihak. Tentu saja dengan harapan agar supply listrik yang diinginkan terpenuhi. Tanpa itu, ada kekuatiran, kita tetap berada pada jalan tak berujung, tanpa solusi, sementara waktu habis terbuang, supply listrik tak kunjung bertambah.

Dari sisi perusahaan, konsumen harus diyakinkan bahwa dengan tarif listrik regional, supply listrik akan terpenuhi dan handal. Tarif yang diusulkan terutama  karena  pertimbangan fluktuasi harga energi primer, inflasi dan gejolak nilai tukar yang sangat mempengaruhi  biaya suku cadang, perawatan mesin pembangkit, dan biaya input lainnya yang menjadi dasar utama BPP.

Tidak kalah pentingnya untuk diketahui adalah kesediaan masyarakat untuk membayar (willingness to pay) jika supply listrik memenuhi kebutuhan mereka, tidak lagi byar pet. Di samping itu, kepercayaan publik terhadap efisiensi perusahaan listrik regional harus dibuktikan misalnya oleh auditor independen, bahkan jika dimungkin oleh  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Penentuan tarif listrik regional di Kepulauan kita harapkan bukanlah semata pertarungan politik, tetapi adalah pertarungan untuk masa depan dan kesejahteraan anak negeri yang kelak akan tetap dikenang. Mungkin bukan sebuah solusi Pareto Optimal untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungkan satu pihak tanpa harus mengorbankan salah satu pihak. Namun solusi “win-win” adalah sebuah keniscayaan.