14 Perguruan Tinggi mendukung terbentuknya Indonesia Raya Incorporated

You are currently viewing 14 Perguruan Tinggi mendukung terbentuknya Indonesia Raya Incorporated
Winata Wira, SE, M.Sc. (Empat dari Kiri ) Perwakilan dari Universitas Maritim Raja Ali Haji dan Perwakilan 14 Perguruan Tinggi Lainnya foto bersama usai dalam Focus Group Discussion (FGD) mendukung terbentukknya Indonesia Raya Incorporated (IRI). f. Istimewa

Solo – Akademisi dari 14 perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, yang bertemu dalam Focus Group Discussion (FGD) mendukung terbentuknya Indonesia Raya Incorporated (IRI) yang diinisiasi oleh Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) – dari wartawan, oleh wartawan dan untuk Indonesia, Rabu (21/12/2016).

Usulan pembentukan IRI ini diharapkan dapat mengatasi dua persoalan utama yang dihadapi Indonesia sebagai bangsa dan negara yakni pemerataan kesejahteraan dan kedua adalah ancaman (potensi) perpecahan dalam tubuh NKRI sebagai sebuah negara (bangsa). Sumber utama dari kedua persoalan utama itu adalah tidak meratanya kemakmuran rakyat Indonesia karena kekayaan sumber daya alam ternyata tidak dikuasai negara. Hal ini dicontohkan keinginan melepaskan diri Kutai Pesisir dari Kutai Kertanegara karena kesejahteraan yang tidak merata dan adil.

Demikian kesimpulan dari FGD yang dihadiri Prof. Dr. Ir. Darsono MS (Universitas Sebelas Maret), Dr Syamsudin (Universitas Muhammadiyah Surakarta), Prof. Mudrajad Kuncoro Ph.D (Universitas Gadjah Mada), DR. Y Tri Susilo, M.Si (Universitas Atma Jaya Yogyakarta), DR D. Wahyu Aryani MT (Universitas Maranatha Bandung), Prof. DR Djoko Mursinto, M.Ec (Universitas Airlangga), Prof. DR. Tulus Tambunan (Universitas Tri Sakti), Sari Wahyuni MSc. Ph.D (Universitas Indonesia), Prof. DR. HB Isyandi, M.Sc (Universitas Riau), DR. Ir. Bernaulus Saragih M.Sc (Universitas Mulawarman), Winata Wira SE, M.Ec (Universitas Maritim Raja Ali Haji Kepri), DR. Agus Trihatmoko (Universitas Surakarta), Prof. DR. Munawar Ismail DEA (Universitas Brawijaya), AM Putut Prabantoro (Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada) sebagai nara sumber serta dipandu A. Handoko (Wartawan Harian Kompas).

IRI mengusulkan, untuk mengatasi dua masalah utama itu, agar dibentuk “perkawinan” antara perusahaan milik negara dan perusahaan milik pemerintah provinsi serta kabupaten di daerah tujuan investasi. Hasil “perkawinan” itu akan membentuk entitas baru itu, yang saham mayoritasnya akan dimiliki oleh entitas baru dan sisanya akan dijual kepada pemda provinsi ataupun kabupaten seluruh Indonesia melalui badan usaha daerah masing-masing. Badan usaha itu provinsi atau kabupaten itu bisa berupa BUMD, Koperasi atau bentuk lain yang dimungkinkan oleh peraturan.

Dalam konteks ini, IRI baru dapat dijalankan jika negara atau pemerintah masing-masing daerah menguasai mayoritas kepemilikan di badan usaha masing-masing. Sisa kepemilikan dapat dijual kepada pihak ketiga dengan skema yang diatur kemudian. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kemakmuran seluruh Indonesia, harus banyak lokomotif ekonomi yang digunakan untuk menarik gerbong-gerbong usaha di daerah tujuan investasi di mana sahamnya juga dimiliki oleh badan usaha daerah provinsi ataupun kabupaten seluruh Indonesia.

Agar tidak bertentangan dengan dengan Pasal 33 UUD 45, IRI dapat diawali melalui industri migas baik hulu maupun hilir. BUMN yang kuat seperti Pertamina, PGN dan PLN masing-masing harus menjadi lokomotif ekonomi negara Indonesia.

Masing-masing lokomotif itu harus menarik gerbong-gerbong ekonomi yang berasal dari badan usaha milik pemerintah daerah provinsi ataupun kabupaten. Masing-masing lokomotif ekonomi itu juga perlu mempertimbangkan posisi BUMDes dalam perkawinan ini seperti yang diusulkan IRI.

Industri migas baik hulu maupun hilir menjadi penting sebagai lokomotif ekonomi Indonesia, karena hingga saat ini kedua industri ini menjadi faktor strategis dan penting bagi berjalannya roda ekonomi Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 45. Sebagai contoh, Yogyakarta atau Bali yang tidak memiliki sumber energi dapat menikmati kemakmurannya melalui kepemilikan saham di daerah tujuan investasi dan sekaligus menjadi penguat ikatan NKRI.

Sekalipun perlu kajian lebih lanjut termasuk di dalamnya, pemilihan bentuk, skema “perkawinan”, digunakannya audit “good governance” dan kesehatan badan usaha milik pemerintah baik pusat ataupun daerah, usulan IRI ini perlu dipercepat mengingat perkembangan politik Indonesia belakangan ini menunjukkan kemuduran ikatan kebangsaan antara daerah satu dan daerah lainnya. Selain itu, serta secara praktis tidak mengindahkan amanat UUD 45.

Atas dua persoalan mendasar tersebut yakni kesejahteraan dan ikatan sebagai NKRI, seharusnya bangsa Indonesia bercermin kepada negara-negara yang mengalami kondisi yang sama lebih dahulu seperti Nigeria, Sudan, beberapa negara Afrika lainnya dan Timur Tengah yang semuanya bersumber pada perebutan sumber energi. Dengan cerminan itu, Indonesia dihadapkan pada pilihan apakah migas menjadi berkah atau kutukan bagi bangsanya di masa mendatang

Winata Wira SE, M.Sc dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepri, mengatakan, ketidakberhasilan bangsa Indonesia dalam membangun negaranya, jangan-jangan terletak pada mindset yang masih sama yakni sebagai bangsa terjajah. Sebagai sosok, Indonesia adalah negara kaya, tetapi rakyatnya miskin. Kondisi inilah yang terjadi dalam masa penjajahan.

Winata Wira, SE, M.Ec

“Kita sebagai bangsa sudah luar biasa lengah atas ketidakmakmuran rakyatnya. IRI harus segera diwujudkan sekalipun dengan berbagai catatan agar cita-cita UUD 45 terwujud. Indonesia harus bersatu, berjaya dan makmur. Orang asing tahu kekayaan Indonesia karena mindsetnya adalah penjajah. Kepri sebagai daerah migas menjadi terlantar karena masih dinolkan,” ungkapnya.(Risalah Maritim)